Takut kepada Corona atau takut kepada Allah? Pilihan

Minggu, 11 Juli 2021 15:24
(5 pemilihan)

Setiap hari selama masa pandemi Covid-19 ini betapa sering kita mendengar asma Allah disandingkan dengan virus Corona. Ada tiga kata: “Allah”, “Corona” dan “takut”, bila dirangkai menjadi sebuah kalimat ternyata sangat efektif untuk mempengaruhi cara berfikir dan persepsi umat Islam terhadap pandemi Covid-19.

Berbagai kalangan, mulai dari ustadz-ustadz yang terkenal di media sosial, para politisi, hingga kaum “pengamat segala masalah” pun ikut merangkai kata-kata ini, sehingga terlontarlah ujaran-ujaran seperti ini:

“Jangan takut kepada Corona, takut hanya kepada Allah.”

“Bukan virus Corona yang kami takuti, tapi Allah SWT.”

“Jika kita takut kepada Corona, berarti kita tidak takut kepada Allah.”

Logika orang awam mudah sekali dibengkokkan oleh ujaran-ujaran diatas. Kenapa takut kepada Allah SWT dengan takut kepada virus Corona mesti dipertentangkan?

Seakan-akan kita dipaksa pada dua pilihan: takut kepada Allah saja atau takut kepada Corona saja. Mengapa mesti memilih salah satunya saja? Apakah hanya boleh takut kepada Sang Pencipta dan tidak boleh takut kepada yang diciptakan?

Bila kata Allah, Corona dan “takut” disandingkan, sebenarnya kita mempunyai 4 pilihan:

  1. Takut kepada Allah dan tidak takut kepada Corona
  2. Takut kepada Allah dan takut kepada Corona
  3. Tidak takut kepada Allah dan takut kepada Corona
  4. Tidak takut kepada Allah dan tidak takut kepada Corona

Sebagai orang beriman, pilihan 3 dan 4 segera tereliminasi, sehingga tersisa dua pilihan:

Takut kepada Allah dan tidak takut kepada Corona, sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh para penyeru itu, atau pilihan takut kepada Allah serta takut kepada Corona.

Sesungguhnya tidak ada ayat al-Qur’an dan hadits yang melarang kita takut kepada Corona atau makhluk ciptaan Allah lainnya dalam arti rasa takut yang wajar.

Maka dari itu pilihan yang benar adalah takut kepada Allah, dan takut pula kepada Corona.

Meskipun kata “takut” sering disandingkan dengan Allah dan Corona, akan tetapi “takut” ini mempunyai dua makna dan konteks yang berbeda. Takut kepada Allah konteksnya dalam rangka takwa kepada Allah. Takut kepada Corona konteksnya dalam rangka ikhtiar menghindari marabahaya yang ditimbulkannya.

Ungkapan “Tidak boleh takut kepada Corona, takut hanya kepada Allah” menyiratkan adanya cacat logika dan gagal faham dalam memaknai kata “takut”. Ujaran ini memberikan pemahaman bahwa takut kepada Corona maknanya sebanding dengan takut kepada Allah. Padahal Allah SWT tidak bisa (tidak boleh) dibandingkan dengan Corona.

Dengan kata lain takut kepada Corona disini diberi makna sebagai bertakwa kepada virus Corona. Sungguh ini sebuah kekonyolan cara berfikir.

Manusia, rasa takut dan sikap waspada

Rasa takut yang dialami manusia dapat dibagi menjadi dua.

Pertama, rasa takut yang bernilai ibadah, yakni rasa takut yang ditujukan hanya kepada Allah SWT, dimana dengan rasa takut tersebut menjadikannya tidak berani berbuat maksiat atau melanggar aturan-aturan Allah dan berusaha untuk tidak melakukan hal yang mendatangkan murka-Nya. Dengan perkataan lain rasa takut yang berhubungan dengan takwa. Rasa takut yang seperti ini jika ditujukan kepada selain Allah akan membuat seseorang menjadi musyrik.

Kedua, rasa takut naluriah yang diberikan oleh Allah SWT kepada makhluk hidup, misalnya takutnya seseorang kepada hewan buas, takut kepada wabah penyakit, takut ketinggian, takut kegelapan, dan takut terhadap hal-hal yang menimbulkan bahaya secara fisik. Rasa takut semacam ini tidak bernilai ibadah dan tidak pula menjadikan seseorang menjadi musyrik.

Takut kepada Corona termasuk rasa takut naluriah yang melekat pada manusia, selama orang itu masih memiliki akal sehat. Takut Corona disini bukan bermakna bertakwa kepada virus Corona, melainkan bermakna waspada dan menghindari madharat virus Corona.

Ketahuilah bahwa yang memerintahkan kita untuk waspada dan menghindarkan madharat itu Allah dan Rasulullah.

Dalam al-Baqarah 195 Allah SWT berfirman:

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

Jangan menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan

Dalam Annisa 71:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ

Wahai orang beriman bersiaplah kalian

Ayat ini memang berhubungan dengan perang, namun pesan yang diberikan adalah perintah agar orang-orang mukmin bersiap ketika menghadapi marabahaya.

Rasulullah SAW pada saat maju ke medan tempur itu pakai pedang, mengenakan baju besi. Beliau juga memakai mighfar, topi baja untuk melindungi diri dari musuh.

Apakah itu berarti Nabi SAW kurang tawakkal, takut kepada manusia melebihi takut kepada Allah? Tentu saja tidak.

Demikian juga ketika Nabi SAW hendak hijrah, beliau juga perginya diam-diam di tengah malam, melewati jalan yang tidak biasa, supaya tidak ketahuan atau tertangkap orang Quraisy. Apa itu artinya Nabi takut kepada manusia melebihi takut kepada Allah?. Tentu saja tidak.

Pada saat penyakit menular kata Nabi:

فِرَّ مِنَ المَجْذومِ فِرَارَكَ مِنَ الأسَدِ

Hindari orang yang kena penyakit menular seperti engkau menghindari seekor singa

Jadi menghindarkan diri dari kebinasaan, dari penyakit, berikhtiar menghindar dari wabah itu adalah perintah agama.

Takwa kepada Allah

Takut kepada Allah kerap dihubungkan dengan takwa kepada Allah SWT dan disebutkan sebagai bagian dari proses bertakwa. Ulama ahli hikmah berpendapat mengenai takwa apabila ditinjau dari maqam atau derajatnya. Takwa mempunyai tiga derajat.

Derajat pertama takwa adalah takut kepada Allah SWT. Kita takut kepada Allah terhadap siksa yang akan menimpa kita karena kesalahan kita sendiri. Makna takut kepada Allah (khasy-yatullah) adalah perasaan takut yang disertai penghormatan yang muncul karena pengetahuan seseorang tentang Allah SWT, sehingga dengan rasa takut tersebut seseorang akan meningkatkan ibadah dengan melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Derajat kedua takwa adalah berbakti serta tunduk kepada Allah SWT. Dalam hal ini pengertian dan penjiwaan seseorang sudah sangat mendalam mengenai kekuasaan dan kasih sayang Allah SWT. Ia mengerti betul bahwa apa yang dilarang-Nya itu pasti mencelakakan dan apa yang disuruh-Nya itu pasti menyelamatkan. Ibadah kepada Allah disini sudah bukan karena takut akan tetapi dilakukan dengan penuh segala keikhlasan.

Derajat ketiga takwa atau yang tertinggi adalah segala amal shaleh yang dikerjakan senantiasa ditujukan untuk membersihkan hati dari segala dosa, sehingga muncul kehendak kuat untuk meninggalkan dosa itu pada masa yang akan datang. Manakala kondisi seperti ini telah menetap di dalam hati, maka seorang hamba mendapatkan predikat muttaqin (orang yang bertakwa). Taubat dan niat tersebut dikatakan sebagai takwa. Dan inilah hakikat takwa yang sesungguhnya.

Penutup

Narasi singkat “Jangan takut Corona, tapi takutlah kepada Allah SWT” dan sejenisnya walaupun nampak sepele namun banyak menimbulkan kesan bahwa ketakutan dan kewaspadaan terhadap penyakit sejajar atau bahkan bertentangan dengan konsep takut kepada Allah (khasy-yatullah).

Penafsiran seperti ini menjadi kontraproduktif dengan kemaslahatan umat dan menjadikan warga masyarakat abai terhadap madharatnya.

Bahkan narasi-narasi tadi jika ditelaah lebih jauh merupakan teologi neo-Jabariyah yang harus dijauhi. Jabariyah adalah suatu keyakinan yang semata-mata mengajarkan kepasrahan terhadap takdir Allah karena pada dasarnya ikhtiar tidak akan mengubah takdir seseorang.

Suatu paham yang bertentangan dengan akidah ahlus sunnah wal jama’ah.

Sebagai kaum yang beriman kepada Allah SWT dan yang mentaati Rasulullah SAW, berdasarkan ayat dan hadits diatas, hendaknya kita lebih memahami pentingnya menjaga kewaspadaan terhadap madharat virus Corona ini.

Kita harus tetap mentaati prosedur dan protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh pemegang otoritasnya, dalam hal ini adalah para ahli medis yang telah mengkaji dan mendalami ayat-ayat Allah/ fenomena yang tersebar di alam semesta ini.

Upaya preventif itu adalah selalu memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan. Jangan lupa mengikuti vaksinasi Covid-19 sebagai ikhtiar meningkatkan imunitas tubuh. 

Kejadian pandemi ini hendaknya memberikan hikmah agar kita senantiasa meningkatkan takwa kepada Allah. Setelah itu, semuanya harus dikembalikan kepada Allah, tawakkal kepada-Nya serta memohon perlindungan dari kejahatan makhluk yang diciptakan-Nya.

Dalam situasi seperti ini mari kita berusaha menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain, dengan cara meningkatkan kewaspadaan dan menjaga diri, supaya kita tidak menjadi sebab dari menularnya virus ini. Minimal kita tidak membuka peluang untuk menularnya virus itu.

Semoga Allah SWT senantiasa menjaga kita semua.

 

Baca 828 kali Terakhir diubah pada Senin, 12 Juli 2021 12:47
Bagikan: