Tradisi Dalam Idul Fitri Pilihan

Minggu, 01 Mei 2022 13:52
(4 pemilihan)

Makna Idul Fitri

Ada dua pendapat mengenai arti Idul Fitri secara bahasa. Pendapat pertama mengatakan ‘Ied berarti Hari Raya, dan Fithr berarti makan, sehingga Idul Fitri mempunyai arti Hari Raya Makan.

Pendapat kedua mengatakan ‘Ied berarti kembali, dan Fithr berarti penciptaan. Idul Fitri bermakna kembali kepada sifat-sifat asli manusia menurut asal penciptaannya. Jadi yang dimaksud dengan Idul Fitri dalam konteks ini berarti kembali kepada asal kejadiannya yang suci.

Sebenarnya tidak ada yang salah dari dua pendapat ini, dan tentu saja tidak perlu ngotot saling menyalahkan.

Pendapat pertama terkesan lebih ketat secara gramatika dan mengartikannya secara tekstual, sedangkan pendapat kedua sifatnya lebih filosofis, yakni berdasarkan hadits:

“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan didasari iman dan semata-mata karena mengharap ridha Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari-Muslim)

Idul Fitri bisa berarti kembalinya kita kepada keadaan suci, atau keterbebasan dari segala dosa dan noda sehingga berada dalam kesucian (fitrah).

Idul Fitri di Indonesia

Kekayaan budaya di wilayah Nusantara dimanfaatkan oleh Walisongo untuk menyebarkan Islam, dan memberikan filosofi baru dari budaya lama yang sudah mengakar di masyarakat sehingga selaras dengan ajaran Islam.

Di Indonesia hari raya Idul Fitri sering disebut sebagai lebaran. Istilah lebaran berasal dari bahasa Jawa yang oleh Sunan Kalijaga diperkaya dengan makna filosofis yang dalam. Salah satunya adalah melalui filosofi ketupat atau kupat.

Kupat adalah kependekan dari laku papat (empat tindakan), yaitu lebar-lebur-luber-labur.

Lebar berarti sudah usai melaksanakan ibadah puasa. Lebaran juga berarti mengakhiri semua laku maksiat.

Lebur artinya melebur dosa manusia kepada Allah dan saling memaafkan kesalahan kepada manusia.

Luber artinya melimpah, yakni limpahan dari pahala, keberkahan, dan rahmat Allah SWT.

Labur berarti bersih. Bagi orang yang melaksanakan ibadah puasa dengan benar, maka hatinya akan dilabur menjadi putih bersih tanpa dosa. Di Indonesia ada tradisi saat menjelang lebaran rumah-rumah banyak yang dilabur (cat putih).  Kegiatan ini mengandung arti pembersihan lahir disamping pembersihan batin yang telah dilakukan selama Ramadhan.

Selain bermakna laku papat, kupat juga memiliki makna ngaku lepat, yang berarti mengakui kesalahan. Ngaku lepat atau mengakui kesalahan ini dilakukan melalui tradisi sungkeman kepada orang tua dan juga pertemuan silaturahim antar keluarga dan kerabat. Jadi, makna ketupat di sini juga berarti untuk menuntun umat islam saling memaafkan dengan penuh ikhlas.

Kegembiraan di Hari Raya

Kegembiraan dalam merayakan Idul Fitri memang diajarkan oleh agama Islam. Kegembiraan ini merupakan wujud rasa syukur kepada Allah atas segala nikmat dan kurnia yang telah diterima.

Disebutkan dalam surah Yunus ayat 58:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ

Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan".

Kegembiraan di hari raya juga disebutkan dalam hadits riwayat Imam Ahmad:

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ketika para pemuda bermain di masjid pada hari raya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agar orang-orang Yahudi mengetahui bahwa dalam agama kita juga ada waktu bersenang-senang, sesungguhnya aku diutus dengan agama yang hanif”

Ibnu Hajar al ‘Asqalany dalam kitab Fathul Bary mengatakan bahwa menampakkan kebahagiaan pada hari raya termasuk syi’ar agama.

Kegembiraan perayaan Idul Fitri di Indonesia terhitung lebih intens dan lebih lama dibandingkan perayaan Idul Fitri di negara-negara berpenduduk muslim lainnya.

Kegembiraan ini bahkan masih berlanjut sepekan kemudian, berupa perayaan lebaran ketupat. Tradisi lebaran ketupat diselenggarakan pada hari ke 8 bulan Syawal setelah menyelesaikan puasa sunnah Syawal selama 6 hari. Seperti disebutkan dalam hadits:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْر

"Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka baginya (pahala) puasa selama setahun penuh." (HR Muslim).

Selain tradisi ketupat, mudik dan sungkeman, ada pula tradisi lain yang terhitung baru, yakni acara halal bil halal.

Istilah Halal bil halal pertama kali dicetuskan oleh KH. Wahab Chasbullah pada tahun 1948. Pada masa itu, Indonesia diketahui sedang mengalami masalah disintegrasi bangsa. Dalam kondisi tersebut, Bung Karno kemudian memanggil KH. Wahab Chasbullah untuk memberikan saran guna mengatasi situasi politik tersebut. Tradisi halal bil halal ini masih berlanjut hingga sekarang, terutama di kalangan pejabat atau politisi di Indonesia.

Tuduhan bid’ah

Tradisi yang telah diwariskan sejak Islam disebarkan oleh Walisongo di kawasan Nusantara dan dilestarikan selama ratusan tahun ternyata belakangan ini mendapatkan stigma negatif oleh kalangan yang menganut faham puritanisme.

Membuat ketupat di malam lebaran mendapat tentangan dari mereka. Dianggap sebagai perilaku bid’ah yang sama sekali tidak pernah dikerjakan dan apalagi diajarkan Nabi Muhammad SAW. Kita tahu Nabi SAW tak pernah makan nasi dan bersawah, apalagi membuat ketupat.

Acara Syawalan atau lebaran ketupat juga dituduh sebagai laku bid’ah karena mereka menganggap lebaran ketupat adalah hari raya baru, sedangkan di dalam Islam hanya dikenal 2 hari raya: Idul Fitri dan Idul Adha.

Acara sungkeman kepada orang tua pun dianggap syirik karena mereka menganggap sungkeman adalah sujud kepada manusia.

Gerakan mudik ke kampung halaman dianggap bid’ah karena Rasulullah SAW tidak pernah mencontohkan.

Tradisi adalah sesuatu yang diciptakan dan dilanggengkan karena mengandung kebaikan. Selama tidak melanggar aturan agama boleh saja dilaksanakan, boleh pula tidak dilaksanakan. Demikian pula tidak ada larangan untuk melaksanakannya. Boleh saja kita bersenang-senang di hari lebaran, pulang mudik, makan ketupat, memakai baju baru dan mengadakan acara silaturahmi.

Semua tradisi ini sama sekali tidak melanggar syari’at. Melaksanakan dan meninggalkan tradisi mudik, membuat ketupat, sungkeman ialah hal yang sebenarnya biasa saja dalam hidup.

Selamat merayakan Idul Fitri 1443 H. Semoga ibadah kita di bulan Ramadhan diterima Allah SWT dan mengantarkan kita menjadi muttaqin sejati.

Baca 451 kali Terakhir diubah pada Minggu, 01 Mei 2022 17:06
Bagikan: