[CEK FAKTA] Benarkah Turki Pesan 5,2 Juta Dosis Vaksin Nusantara?

Minggu, 29 Agustus 2021 15:00
(0 pemilihan)

Jakarta, IDN TimesDi tengah kondisi Vaksin Nusantara yang jalan di tempat karena belum memperoleh izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), tiba-tiba berembus informasi bahwa vaksin itu sudah dilirik oleh Turki.

Bahkan, Turki disebut-sebut sudah siap memesan 5,2 juta vaksin yang diinisiasi oleh mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto itu. 

Pernyataan itu disampaikan oleh Guru Besar Biologimolekular, Prof drh Chairul Anwar Nidom ketika ngobrol dengan mantan Menteri Kesehatan Siti Fadila Supari di akun YouTubenya yang tayang pada 19 Agustus 2021 lalu.

Dalam video tersebut, Nidom mengaku mendengar dari Terawan bahwa vaksin dengan metode sel dendritik itu telah dipesan sebanyak 5,2 juta dosis. 

"Saya dengar Turki sudah memesan 5,2 juta dosis (Vaksin Nusantara)," ujar Nidom yang dikutip pada Minggu (29/8/2021) dalam video berjudul "Siti Fadilah & Nidom: Vaksin Nusantara, Harapan Yang Tertunda."

Di video tersebut, Nidom bahkan menyebut Indonesia berpotensi dirugikan bila hasil penelitian Vaksin Nusantara justru diambil oleh negara lain. Siti turut menimpali pernyataan Nidom itu.

Menurut dia, tak tertutup kemungkinan penelitian yang dilakukan oleh Terawan akan diserobot dan diambil oleh negara lain. 

"Terawan kalau di tempat you, (penelitian) you gak diterima, oke dibawa ke negara saya aja, kan kita kehilangan. Jangan sampai seperti itu," kata Siti di video yang sama. 

IDN Times menelusuri video yang tersebut kini tidak ada lagi di dalam akun YouTube Siti. Kami menemukan video dialog tersebut dari akun lain yang mengunggah ulang. 

Jadi, benarkah Turki memesan Vaksin Nusantara yang diinisiasi oleh Terawan? 

 

1. Tak ada pesanan Vaksin Nusantara dari Turki

[CEK FAKTA] Benarkah Turki Pesan 5,2 Juta Dosis Vaksin Nusantara?
Duta Besar Indonesia untuk Turki, Lalu Muhammad Iqbal (Dokumentasi Istimewa)

 

IDN Times melakukan kroscek terhadap Duta Besar Indonesia untuk Turki, Lalu Muhammad Iqbal. Ia mengatakan tak ada pesanan Vaksin Nusantara dari Turki.

"Gak ada (pesanan vaksin nusantara). Kalau ada pesanan dari Turki, maka saya pasti terinformasikan," kata Iqbal melalui pesan pendek pada 26 Agustus 2021 lalu. 

IDN Times juga sudah menghubungi Nidom baik melalui telepon atau pesan pendek untuk mengklarifikasi klaim yang ia dengar mengenai pesanan dari Turki. Namun, Nidom tak merespons. 

Ini bukan kali pertama Vaksin Nusantara diklaim menjadi sorotan internasional. Sebelumnya, dalam sebuah webinar yang digelar oleh RSPAD pada Mei 2021 lalu, Terawan mengklaim dunia sudah memiliki hipotesa bahwa vaksin berbasis sel dendritik dapat mengakhiri pandemik COVID-19. Hipotesa itu diterbitkan di jurnal Pubmed, Elsevier. 

Terawan juga mengatakan tidak perlu khawatir mengenai vaksin sel dendritik yang sifatnya personalisasi sebab dengan terobosan inovasi tetap bisa diproduksi massal. Terawan bahkan menyebut prosesnya sangat sederhana bila dibandingkan vaksin konvsensional. 

"Kami sudah sejak jauh-jauh hari mengembangkannya untuk cancer. Kita tinggal mengubah antigennya menjadi antigen artifisial atau antigen recombinan Sars-CoV-2," ujar pria yang pernah menjadi Kepala RSPAD itu. 

Namun, ketika ditelusuri, situs resmi Badan Kesehatan Dunia (WHO), belum mencatat vaksin sel dendritik masuk ke dalam daftar izin pemberian darurat (EUA). Vaksin COVID-19 terakhir yang diberi izin penggunaan darurat adalah Sinovac pada 1 Juni 2021.

Beberapa vaksin yang sudah mengantongi izin yakni: 

  • Vaksin Pfizer/BioNTech pada 31 Desember 2020
  • Vaksin AstraZeneca/Oxford pada 15 Februari 2021
  • Vaksin d26.COV2.S yang dikembangkan oleh Johnson & Johnson pada 12 Maret 2021
  • Vaksin Sinopharm pada 7 Mei 2021
  • Vaksin ChAdOx1-S (recombinant) yang diproduksi oleh Serum Institute India pada 15 Februari 2021
  • Vaksin Jansen yang diproduksi di Belgia dan diberikan izin pada 11 Maret 2021
  • Vaksin Moderna pada 30 April 2021
 

Artinya, vaksin sel dendritik belum diakui penggunaannya secara luas di dunia. Sedangkan, artikel yang diterbitkan di jurnal Pubmed dengan judul "Dendritic cell vaccine immunotherapy; the beginning of the end of cancer and COVID-19" baru sebatas hipotesa. 

 

2. Kemenkes tegaskan Vaksin Nusantara tak bisa dikomersialisasikan karena bersifat personal

[CEK FAKTA] Benarkah Turki Pesan 5,2 Juta Dosis Vaksin Nusantara?
Catatan minus Vaksin Nusantara dari BPOM (IDN Times/Sukma Shakti)

 

Sementara, Kementerian Kesehatan mengatakan warga bisa mengakses Vaksin Nusantara dengan cara mendatangi RSPAD. Sebab, saat ini, Vaksin Nusantara berstatus pelayanan berbasis penelitian. Artinya, jangkauan vaksin tersebut masih terbatas. 

"Masyarakat yang menginginkan Vaksin Nusantara atas keinginan pribadi nantinya akan diberikan penjelasan terkait manfaat hingga efek sampingnya oleh pihak peneliti," ujar Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi dalam keterangan tertulis pada Sabtu, 28 Agustus 2021. 

Bila pasien setuju, Vaksin Nusantara baru diberikan kepada mereka. Lantaran masih berstatus penelitian, maka Kemenkes tak akan menanggung bila terjadi Kejadian Ikutan Paska Imunisasi (KIPI).

Bila terjadi KIPI maka akan ditanggung oleh RSPAD selaku tempat dilakukan penelitian dan relawan itu sendiri. 

Nadia juga menegaskan bahwa Vaksin Nusantara tidak bisa dikomersialisasikan. Sebab, vaksin sel dendritik bersifat personal atau autologus. 

"Artinya, dari materi yang digunakan dari diri kita sendiri dan untuk diri kita sendiri, sehingga tidak bisa digunakan untuk orang lain. Jadi, produknya hanya bisa dipergunakan untuk diri pasien sendiri," kata dia lagi. 

Sejauh ini sudah ada beberapa pejabat dan mantan pejabat yang telah disuntik Vaksin Nusantara. Beberapa di antaranya adalah Kepala Staf Presiden (KSP), Moeldoko, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) La Nyalla Mattalitti, hingga mantan Menkes Siti Fadila Supari. 

 

3. Ditolak oleh BPOM, Terawan dekati Komisi VII DPR agar dapat izin uji klinis tahap 3

[CEK FAKTA] Benarkah Turki Pesan 5,2 Juta Dosis Vaksin Nusantara?
Mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

 

Meski BPOM tak menyetujui pemberian izin untuk uji klinis tahap II, Terawan tak menyerah. Ia tetap jalan terus dan malah melanjutkan penelitian vaksin Nusantara di RSPAD Gatot Subroto.

Kini, ia meminta dukungan kepada Komisi VII DPR agar pengembangan vaksin Nusantara bisa lanjut ke tahap uji klinis ketiga. Hal itu terlihat dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR pada Rabu, 16 Juni 2021. 

Itu pula salah satu hasil kesimpulan rapat yang disampaikan Wakil Ketua Komisi VII, Eddy Soeparno. Ia bahkan mendorong agar Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19, Ismunandar, memasukan riset vaksin Nusantara ke dalam Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19.

Padahal, ketika Ketua Konsorsium masih dijabat Bambang Brodjonegoro, Terawan malah tak mendaftarkan pengembangan vaksin Nusantara ke konsorsium.

"Komisi VII DPR RI juga mendukung penuh pengembangan vaksin imun Nusantara oleh dr Terawan Agus Putranto, dan mendesak kelanjutan uji klinis fase III tersebut yang sesuai kaidah uji klinis sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah," ujar Eddy ketika memimpin rapat kerja dua hari lalu dan dikutip dari tayangan YouTube pada Jumat, 18 Juni 2021.

Saat ini, pengembangan vaksin berbasis sel dendritik yang dilakukan di RSPAD Gatot Subroto itu, bersifat pelayanan medis. Artinya, pengembangan vaksin tidak boleh ditujukan untuk kepentingan komersial.

Hal itu sesuai dengan nota kesepahaman (MoU) yang diteken antara Menteri Kesehatan Budi Gunadi, Kepala BPOM Penny K Lukito dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa pada 19 April 2021. 

Bila vaksin Nusantara dimasukan ke dalam konsorsium vaksin nasional, maka vaksin yang diinisiasi Terawan itu pada akhirnya akan diproduksi massal dan dikonsumsi publik. 

Baca 389 kali Terakhir diubah pada Minggu, 29 Agustus 2021 15:05
Bagikan: