Roy Suryo jadi tersangka kasus penistaan agama. Roy Suryo dilaporkan ke polisi karena mengunggah meme orang lain tentang stupa candi Borobudur, disertai dengan komentarnya. Roy Suryo sebagai ahli informatika juga telah menyampaikan orang yang membuat meme itu ke polisi. Namun polisi tetap membuat Roy Suryo sebagai tersangka. Ternyata materi yang rawan dan disebarkan melalui dunia maya itu mirip dengan narkotik. Bukan hanya pembuat narkotik yang akan bermasalah, pengedarnya pun bermasalah juga. Di samping Roy Suryo, Nikita Mirzani juga menjadi tersangka pencemaran nama baik melalui dunia maya. Walaupun Roy Suryo dan Nikita Mirzani menjadi tersangka, masyarakat perlu mencatat, bahwa mereka belum tentu bersalah, sebelum pengadilan memutuskannya. Kita harus menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah. Jangan menista agama Walaupun belum tentu bersalah, apa enaknya ditahan polisi, seperti Nikita? Atau seperti mantan Menteri Olahraga Roy Suryo, yang diinterogasi selama 12 jam. Roy tidak ditahan, kata polisi karena dia sakit. Kalau Roy dan Nikita diputuskan tidak salah oleh pengadilan, maka nama baiknya akan direhabilisasi. Polisi dan Jaksa tentu akan instropeksi, dan menggunakan keputusan pengadilan itu sebagai rujukan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan sampai pada perumusan dakwaan untuk kasus-kasus berikutnya. Namun kalau penyidikan polisi dibenarkan pengadilan, maka Roy dan Nikita akan masuk penjara. Berapa lama? Itu tergantung pada proses pengadilan dan penilaian para hakim. Bisa sebulan, bisa setahun, bisa dua tahun, atau mungkin lebih. Mari kita tunggu episode berikutnya. Yang terpenting bagi kita, seluruh warga negara, taati hukum, jangan menista agama. Ingat kebebasan Indonesia berbeda dengan kebebasan di Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara Eropa. Di AS, orang bebas menista agama untuk menyalurkan aspirasi dan ekspresinya, karena mereka dijamin oleh Amandemen Pertama konstitusi AS. Di Indonesia, orang tidak bebas menista agama, karena negara akan segera bertindak. Jika negara di Indonesia tidak mau bertindak, maka warga negara yang merasa agamanya dinista, akan secara suka rela menindak penistanya. Jika negara di Indonesia tidak bertindak, persatuan Indonesia akan berantakan oleh konflik SARA khususnya masalah agama. Jangan cemarkan nama baik orang lain Jangan pula mencemarkan nama baik orang lain. Sesungguhnya orangtua atau bapak ibu guru di sekolah sudah mengajarkan sopan santun, saling menghormati, dan tidak saling melecehkan, tidak saling menghina, atau tidak saling mencemarkan nama baik orang lain. Pergaulan yang santun itu bukan sekadar berada dalam tataran tata krama, tetapi masuk ke dalam peraturan perundangan. Pasal 310 KUHP mengingatkan barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang bisa dihukum 9 bulan penjara. KUHP itu buatan penjajah Belanda. Pasal 27 ayat (3), UU no 11/2008 tentang Informatika dan Transaksi Elektronik (ITE) lebih keras lagi, pencemaran nama baik bisa dihukum 6 tahun penjara. Pada waktu Ketua DPR RI 2009-2014, Marzuki Ali berkunjung ke Pikiran Rakyat Bandung, tanggal 1 April 2010, saya bertanya kepada beliau, membandingkan Pasal 310 KUHP dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE. KUHP adalah peraturan peundangan buatan penjajah yang kejam, contohnya adalah pasal 310 KUHP, orang yang mencemarkan nama baik orang diancam hukuman 9 bulan. Ternyata Pemerintah Indonesia dan DPR delapan kali lebih kejam daripada penjajah Belanda, dengan pasal 27 ayat (3) UU ITE, orang yang mencemarkan nama baik orang itu diancam hukuman 6 tahun. Seingat saya, Ketua DPR, Marzuki Ali menjawab dengan tegas bahwa UU ITE itu kurang kejam. Begitu pencemaran nama baik seseorang disebarkan melalui internet, maka seluruh dunia bisa melihatnya, dan tidak bisa dihapus. Berkali-kali Pasal 27 ayat (3) UU ITE ini di-judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Semua ikhtiar untuk membuang ayat itu dari UU ITE ditolak oleh MK. Akhirnya Pemerintah dan DPR mengubah UU ITE pada 25 November 2016. Ancaman hukuman untuk pencemaran nama baik diturunkan dari 6 tahun penjara menjadi 4 tahun penjara. Semula Pasal 27 ayat (3) UU ITE ini adalah delik umum berubah menjadi delik aduan. Tanpa aduan, orang yang mencemarkan nama baik tidak diproses hukum. Kasus Presiden Jokowi Siapa orang yang paling sering dicemarkan nama baiknya? Kemungkinan adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi), khususnya di media sosial. Saya yakin pihak kepolisian sudah memantaunya, dan sudah mencatat orang-orang yang melakukan pencemaran nama baik Presiden Jokowi. Namun, karena Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah delik aduan, maka polisi tidak memrosesnya. Mungkin suatu waktu nanti, ada penghinaan atau pencemaran nama baik, yang sudah keterlaluan, maka Presiden Jokowi akan mengadukannya ke polisi, dan polisi pun akan bertindak. Namun jika Presiden Jokowi mengadukan ke polisi, maka tindakan itu akan menyita banyak waktu, sehingga bisa mengurangi waktunya untuk melaksanakan tugas-tugas kepresidenan yang lain. Tentu saja, tidak semua orang sesibuk Presiden Jokowi, sehingga jika ada seseorang yang menghina atau mencemarkan nama baiknya, dia punya waktu untuk melaporkan ke polisi. Ingat, kadar ketersinggungan orang juga berbeda-beda. Ada kemungkinan, sesuatu yang dianggap lucu dan guyonan, bisa dianggap sebagai pencemaran nama baik yang menghinakan. Untuk itulah, kasus Roy Suryo dan Nikita Mirzani menjadi pelajaran bersama untuk berhati-hati di dunia maya, pada era digital saat ini. (Muhammad Ridlo Eisy, Pemimpin Redaksi inharmonia.co).***