Meningkatkan rencana produksi lapangan Abadi - blok Masela dari 7,5 juta ton/tahun menjadi 9,4 juta ton/tahun akan meningkatkan cost recovery dan memperpendek usia lapangan. Meningkatkan volume produksi akan meningkatkan besaran fasilitas produksi dan fasilitas pendukung lainnya, sehingga akan meningkatkan biaya pembangunan atau Capital Expenditure (Capex) dan biaya pengoperasiannya atau Operating Expenditure atau (Opex) yang akan di cost recovery kan oleh kontraktor kepada pemerintah dengan cara memotong volume hasil produksi sebelum dibagi (ETS = Equity to be Split). Peningkatan produksi yang hanya bertujuan mempercepat kontraktor mendapatkan revenue dengan cara meningkatkan dan menguras cadangan migas secara “jor joran” akan meningkatkan cost recovery, memperlemah ketahanan energi nasional serta akan memperpendek umur lapangan gas yag tidak selaras dengan semangat Sumber Daya Alam (SDA) sebagai roda penggerak perekonomian nasional. Bercermin dari beberapa proyek migas sebelumnya, seperti : LNG Arun dengan membangun 6 train atau kilang dan memproduksikan LNG untuk eksport untuk menghasilkan devisa untuk negara, tapi juga negara membayar seluruh biaya pembangunan 6 kilang LNG nya melalui mekanisme cost recovery. Jika ketika itu di Arun hanya dibangun 2 atau 3 kilang LNG saja, maka kilang LNG Arun hingga saat ini dan 30 tahun ke depan masih berproduksi. Kebutuhan pemenuhan gas bumi untuk industri-industri di Aceh dapat dipenuhi, kebutuhan gas bumi untuk pembangkit tenaga listrik di Aceh dan Sumatera Utara terpenuhi, juga penerimaan pemerintah tidak akan tergerus banyak untuk membiayai pembangunan 6 kilang, tapi hanya untuk 2–3 kilang saja atau pemerintah hanya membayar biaya cost recovery separuhnya saja. Seperti kita ketahui, LNG Arun telah berhenti berproduksi sekitar tahun 2014 yang lalu. LNG Bontang dengan membangun 8 kilang dan saat ini, akibat menurunnya cadangan gas bumi di Kalimantan timur, jumlah kilang yang beroperasi tersisa hanya 4 kilang saja dan akan berhenti beroperasi seluruhnya sebentar lagi. Seandainya di Bontang ketika itu hanya dibangun 4 kilang saja sejak awal, maka volume cadangan gas bumi dan produksi LNG Bontang diperkirakan akan terus berlangsung hingga tahun 2060 atau masih berlanjut sekitar 40 tahun ke depan. Penerimaan pemerintah juga akan lebih tinggi karena tidak akan tergerus banyak untuk membiayai pembangunan 8 kilang LNG melalui mekanisme cost recovery. Dari kedua hal tersebut di atas, jika ketika itu pemerintah “bijak” mengelola SDA gas bumi dengan tidak “jorjoran” meningkatkan produksi yang menguras cadangan gas bumi lebih cepat, maka hingga selama berproduksi pemerintah akan mendapatkan manfaat dengan cost recovery lebih rendah atau bagian gas bumi untuk pemerintah lebih tinggi, kebutuhan gas bumi untuk industri dan ketahanan energi nasional terpenuhi, sehingga tidak membutuhkan import gas bumi dari negara lain atau tidak diperlukan suplai LNG dari Tangguh atau Bontang ke Aceh seperti yang saat ini dilakukan, dengan harga lebih mahal daripada harga gas bumi jika dipasok dengan pipa dari Arun sendiri. Pola pikir meningkatkan produksi migas setinggi-tingginya saat ini masih saja dilakukan, seperti halnya produksi lapangan Banyuurip di Cepu yang mencapai sekitar 165 ribu barrel/hari untuk 2-3 tahun saja, dengan menyediakan fasilitas produksi dan fasilitas pendukung lainnya seperti jalur pipa dan kapal tanker penampung harus dibangun untuk kapasitas produksi 165 ribu barrel/hari yang hanya terpakai 2 -3 tahun sejalan dengan skenario pengembangan lapangan, selanjutnya 15 tahun ke depan produksi antara 100 ribu sampai 5.000 barrel/hari atau rata-rata hanya sekitar 40-50ribu barrel/hari saja. Dengan demikian : Biaya pembangunan Capex dan biaya pemeliharaan atau Opex, fasilitas produksi dan fasilitas pendukung lainnya untuk produksi 165 ribu barrel/hari lebih tinggi 2–3 kali dibandingkan jika skenario produksi dengan plato sekitar 50 ribu barrel/hari selama 15–20 tahun, sehingga cost recovery pun menjadi lebih hanya separuh atau 1/3 nya dan volume minyak bagian negara menjadi banyak karena membayar cost recovery lebih sedikit. Fasilitas produksi dan fasilitas pendukungnya hanya terpakai 2-3 tahun saja yang optimum, selanjutnya sekitar 15 tahun ke depan pemanfaatannya jauh dibawah kapasitas terpasang. Umur lapangan menjadi lebih pendek dan volume produksi tidak sustain, namun menurun secara drastis dalam jangka waktu yang singkat Mengatur skenario produksi migas merupakan salah satu alat kontrol mengendalikan cost recovery, mudah-mudahan dapat dipahami bahwa memberikan peluang peningkatan produksi migas setinggi mungkin kepada kontraktor, berpeluang meningkatkan cost recovery dan memperlemah ketahanan energi nasional dan pasokan migas di dalam negeri dalam usaha menjadikan SDA sebagai motor penggerak ekonomi nasional dalam jangka panjang. Bercermin dengan pengalaman proyek LNG Arun dan LNG Bontang, mengakomodasi operator blok Masela untuk meningkatkan produksi hingga 9,4 juta ton/tahun dari sebelumnya 7,5 juta ton/tahun merupakan kesia-siaan dalam usaha mengontrol cost recovery dan membangun ketahanan energi nasional serta meningkatkan nilai tambah SDA untuk menjadi motor penggerak ekonomi nasional. Haposan Napitupulu, Ph.D. Praktisi Migas, Mantan Deputi BP Migas