Masyarakat ITB yang Retak Pilihan

Kampus TH Bandung dilihat dari IJzermanpark (Taman Ganesha) Kampus TH Bandung dilihat dari IJzermanpark (Taman Ganesha)
Senin, 16 November 2020 16:07
(3 pemilihan)

Artikel “ITB Retak, Perlu Diharmoniskan” dapat banyak komentar (https://inharmonia.co/index.php/opini/opini/itb-retak-perlu-diharmoniskan).  Artikel yang diunggah hari Jumat, 13 November 2020, pukul 22.16, dibaca lebih dari 500 orang pada hari Sabtu, 14 November 2020, pukul 16.28.

Lebih dari 120 orang teman memberi komentar melalui jaringan pribadi (japri), ada beberapa mantan Menteri, ada beberapa mantan rektor, ada beberapa profesor dari ITB, IPB, ITS, Unpad, dan Universitas Islam Bandung. Bahkan ada yang memberi komentar lewat telepon.

Tentu yang paling banyak adalah ucapan terima kasih dan acungan jempol, namun banyak juga yang memberi komentar yang perlu mendapat tanggapan. Tulisan ini adalah tanggapan kepada teman-teman yang memberi tanggapan. Sebagian tanggapan dari pembaca akan saya kutip, untuk memperjelas diskusi yang sedang berlangsung. Perlu diketahui, situs inharmonia.co belum mau membuka saluran komentar secara terbuka, karena banyak pengalaman yang tidak enak yang dapat diamati pada situs-situs yang memberi fasilitas komentar secara terbuka. Salah satu alasannya adalah banyak komentar di situs-situs yang ada yang melampaui batas, sehingga bisa dikelompokkan pada pelanggaran UU ITE. Komentar dari masyarakat yang melanggar UU itu merupakan tanggung jawab pengelola situs, apalagi kalau pengirim komentar menggunakan nama samaran yang sulit dilacak siapa sebenarnya orang itu.

Saya secara pribadi mengucapkan terima kasih kepada perhatian teman-teman. Saya ingin menyatakan bahwa inharmonia.co menghormati keberagaman dan berikhtiar menggalang kerukunan untuk persatuan.

 

ITB dan Masyarakat ITB

Ada komentar dari beberapa guru besar ITB yang keberatan atas judul “ITB Retak”. Prof. Dr. Eddy Ariono Subroto, mengirim pesan, “Mas, boleh protes? Judul dibuat hanya dengan kata ‘ITB retak,’ sehingga membuat saya ingin membaca. Akan tetapi, di berita, Anda menyebut ‘masyarakat ITB.’ Kata ‘ITB’ yang berdiri sendiri, berarti institusi yang terdiri atas tiga komponen civitas academia, yaitu dosen, tendik (tenaga kependidikan), dan mahasiswa. Tidak ada alumni di situ. Kalau ‘masyarakat ITB’ bisa termasuk alumni. Yang retak adalah alumni, saya yakin sekali, apalagi saat pilpres. Untuk Anda ketahui, kami di ITB rasanya ayem-dingin saja. Sekadar pelurusan interpretasi Mas.”

Selain Eddy, Prof Dr Adang Surahman dan Prof Dr Carmadi Mahbub menyatakan hal sama, bahwa ITB tidak retak.

“Dalam hal ini perlu saya koreksi: ITB tidak  retak. Yang retak adalah alumninya yang mempersoalkan DS (Din Syamsuddin-red). Internal ITB sudah biasa dengan perbedaan pendapat dan kepentingan. Pendapat orang dalam: ngapain sih mereka ngurusin masalah internal ITB, sambil tidak  menguasai masalah. DS berpendapat seperti itu ketika ada di luar. Ketika di dalam (MWA, Majelis Wali Amanat) tidak bicara politik,” kata Adang Surahman.

 

Dua isu: komunisme dan khilafah

Syukurlah jika ITB tidak retak. Tentu saja ada beberapa komentar yang menjelaskan keretakan di ITB. Sesungguhnya masih ada kekhawatiran adanya keretakan dalam masyarakat Indonesia, yaitu masalah komunisme dan khilafah.

Prof. Dr. Didin S Damanhuri dari IPB menyarankan, kalau mau harmoni, lakukan riset tentang gerakan neo-PKI juga. Amati kongres tahunan PKI, rapat ex PKI lama; Berapa banyak tokoh mereka yang ada di DPR, DPRD, pemerintahan, di parpol, lembaga strategis lainnya. “Apa saja produk legislasi pusat dan daerah yang berasal dari pemikiran mereka, apa renstra mereka untuk Indonesia yang akan datang, dst, dst,” kata Prof Didin.

Prof Didin juga mengirim link tentang pendapat Taufik Ismail, Kivlan Zen, dan Prof. Salim Said terhadap komunisme. Taufik Ismail mengungkap kekejaman sejarah kekejaman komunisme di seluruh dunia. Prof Salim Said menuturkan bahwa kader komunis terlatih untuk menyusup, sedangkan Mayor Jenderal (purn) Kivlan Zen mengungkap gerakan komunisme di Indonesia.

Dr. Burhanuddin Muhtadi di kompasTV

“Di (sebuah kongres di Grabag, Magelang) tahun 2010, saya suruh anak saya masuk di situ,” kata Kivlan kepada JawaPos.com, Sabtu (3/3). Kivlan mencium kongres tersebut mengagendakan kebangkitan PKI. Dia juga mengatakan, kelompok simpatisan PKI lainnya pun membuat kegiatan serupa, kembali membangun eksistensi PKI. (https://www.jawapos.com/nasional/03/03/2018/selidiki-pki-bangkit-kivlan-zen-minta-anaknya-nyamar-jadi-simpatisan/).

Semua informasi komunisme, khususnya di Indonesia, perlu dikaji ulang, termasuk penjelasan dari Kivlan Zen. Kivlan Zen adalah tentara, dan wartawan di seluruh dunia dilatih untuk tidak cepat percaya kepada penjelasan tentara, karena militer dilatih disinformasi. (https://inharmonia.co/index.php/saringinfo/saringinfo/militer-dilatih-disinformasi). Kemudian bandingkanlah dengan penjelasan Dr. Burhanuddin Muhtadi di beberapa stasiun televisi.

 

Tahapan membangun Khilafah

Jika Prof. Salim Said menjuluki orang-orang komunis pinter menyusup, orang-orang yang ingin mendirikan khilafah di Indonesia melakukannya dengan terbuka pada Muktamar Khilafah tahun 2013 di Gelora Senayan, Jakarta, bahkan diliput TVRI Nasional secara penuh.

Seorang teman mengungkapkan 10 langkah FPI menuju Khilafah di Indonesia yang disampaikan Rizieq Shihab, di antaranya adalah pembentukan parlemen bersama dunia Islam, pembentukan pakta pertahanan bersama dunia Islam, penyatuan mata uang Islam, penyeragaman kurikulum pendidikan agama dan pendidikan umum di dunia Islam, pendirian Mahkamah Islam International. (https://inharmonia.co/index.php/opini/opini/menyimak-militansi-pendukung-khilafah-di-indonesia).

Mengenai masalah khilafah, Prof Didin S Damanhuri menyatakan bahwa dia telah lama mempelajari tentang HTI dan Khilafah, asal muasal dan perkembangannya termasuk di Indonesia. “Saya sudah lama menyimpulkan, di samping mereka tidak realistik, juga tekstualistik, sehingga bisa menyesatkan. Kalau substansial pendekatannya, UUD 1945 sebenarnya sangat Islami. Kasihan umat, dengan move-move mereka,” kata Prof. Didin S Damanhuri.

 

 Demo HTI di Medan                                   (Foto: ANTARA)

Sudut pandang lain

Banyak sekali masukan yang belum bisa saya rangkum dalam tulisan ini. Ada teman yang mengirim dua buku tentang sejarah khilafah di dunia Arab, yang satu 700 halaman, yang satu lagi hampir 1.000 halaman. Ada teman lama waktu di SMA, yang sekarang sudah menjadi kiai, mengirim beberapa ayat Alquran dan penjelasannya.

Di samping masalah komunisme dan khilafah, Dindin S Maolani, SH, melihat dari sudut pandang lain. Dindin adalah aktivis 77/78, aktivis Lembaga Bantuan Hukum, dan sekarang menjadi pengacara di Bandung.

Menurut Dindin, keretakan di ITB dan perguruan tinggi lainnya bukan karena adanya kelompok radikal dan kelompok komunis. “Tapi lebih karena ada yang pro Jokowi dan anti Jakowi. Supaya tidak kelihatan ada yang anti Jokowi dan yang pro maka dimunculkanlah radikal dan komunis. Kalau tidak percaya, nanti kalau Jokowi sudah lengser, ngak akan ada pro-kontra itu, bahkan ngak akan ada keretakan,” kata aktivis LBH Bandung itu.

Dindin menambahkan, image-image itu dibangun dalam bingkai politis agar tidak menohok langsung kepada nama Jokowi. “Makanya kalau ada yang bilang yang radikal itu siapa , apa iya Din Syamsoedin seorang radikalis (buat saya hanya orang tidak gaul dan buta politik kalau menganggap Prof Din  seorang radikalis), demikian juga ketika ada pertanyaan tentang komunis di ITB  (buat saya sebelum ada faktanya itu hanya ilusi kecuali, kalau mengatakan ada komunis di Senayan dan PDIP, itu tidak terbantahkan).  Barangkali KAPPAK ITB bukan utk mewaspadai ada komunis di ITB ,” tutur Dindin S Maolani.

Demikianlah sebagian sudut pandang tentang isu komunisme dan khilafah kepada saya. Tentu pandangan ini akan bisa ditambah, yang penting kita harus memperhatikannya dengan cermat, khususnya dilihat dari fakta dan sudut pandangnya. Yang terpenting adalah faktanya. Apakah kita sedang membicarakan fakta yang sama? Soal sudut pandang berbeda itu sangat wajar. Gelas yang ada airnya setengah, dapat dipandang bahwa air dalam gelas itu tinggal sedikit, sedang orang lain memandangnya bahwa bahwa gelas itu masih banyak airnya. Perbedaan pandangan menentukan perbedaan pilihan, tetapi kalau bisa, tidak perlu ada permusuhan. Kalaupun tetap ada konflik, selesaikan dengan musyawarah, secara politik, atau melalui jalur hukum. Jangan main hakim sendiri.***

(Muhammad Ridlo Eisy adalah Pemimpin Redaksi inharmonia.co.)

 

 

 

Baca 888 kali Terakhir diubah pada Senin, 16 November 2020 18:13
Bagikan: