Cetak halaman ini

Hancurnya PKI & Komunisme, Catatan 1987 Pilihan

Senin, 12 September 2022 17:42
(6 pemilihan)

Pengantar -

Ada paronia, komunisme yang sudah hancur dianggap mampu bangkit lagi, dan akan mencaplok Indonesia. Ini semacam cacing yang dianggap naga. Sebenarnya, komunisme adalah ideologi yang gagal. China yang dianggap komunis mempraktekkan kapitalisme dan menjalankan roda ekonomi.

Bersama ini saya akan menyajikan tulisan tahun 1987, yang saya ditulis di Horn, Belanda, dan belum sempat disiarkan tentang hancurnya PKI dan komunisme.

Selamat membaca.

 

ADA isyu yang cukup santer di Indonesia (tahun 1987), bahwa Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Eropa sudah di bawah pengaruh orang-orang PKI (Partai Komunis Indonesia), dan mulai berfaham komunisme. Isyu itu disertai angka, yaitu sekitar 75% anggota PPI sudah berada dalam dalam pengaruh komunisme.

Dari isyu itu, bisa ditarik dua hipotesa, yaitu pertama, begitu lemahnya pengertian mahasiswa Indonesia di luar negeri tentang Pancasila, sehingga begitu mudah di bawah pengaruh orang-orang PKI. Kedua, begitu hebatnya orang-orang PKI di Eropa, sehingga mampu mempengaruhi mahasiswa Indonesia di Eropa dalam jumlah yang besar.

Siapa pun ingin membuktikan hipotesa-hipotesa di atas. Tentu saja sangat sulit untuk mengetahui kadar Pancasila di hati para mahasiswa Indonesia. Hampir semua mahasiswa yang belajar di Eropa telah menerima penataran P4. Siapa pun tahu bahwa penataran P4 tidak akan menjamin para pesertanya dengan serta merta menjadi Pancasilais. Tetapi dengan penataran, paling tidak, pengertian tentang Pancasila akan lebih luas, dan sedikit banyak tahu perbandingannya dengan ideologi lain, seperti komunisme, kapitalisme dll.

Untuk mengetahui jaringan PKI di Eropa bukan sesuatu yang mudah pula, tetapi lebih konkret dibandingkan harus mengukur kadar Pancasila di hati mahasiswa Indonesia di Eropa.

Mencoba menghitung

Jalur pertama untuk melacak pengaruh PKI di kalangan PPI, tentu saja di kalangan PPI sendiri. Dalam hal ini saya bertemu dengan Iken Nasution, salah seorang anggota PPI. Ia tinggal di Den Haag dan kuliah di Leiden.

Menurut Iken Nasution, isyu itu merupakan isapan jempol belaka. Ia menuturkan bahwa mahasiswa Indonesia di Belanda sekitar 600 orang, 400 di antaranya tinggal di Delf. Mahasiswa Indonesia di Delf adalah kiriman IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) dan BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi).

“Kebanyakan mereka berusia muda, sekitar 20-23 tahun. Mereka tidak tahu apa itu komunisme, PKI dan G30S/PKI. Mereka bisa belajar di Belanda setelah mendapat penataran P4, dan mereka tergolong anak-anak rajin belajar, dan menghindar kalau diajak bicara politik. Mereka steril,’ kata Iken.

Dari sumber yang lain saya peroleh bahwa mereka senang iseng, bersenang-senang, daripada ngomong politik. Selain di Delf, mahasiswa Indonesia di Belanda banyak di Amsterdam, tapi mereka pun malas berbicara politik. Hanya satu-dua orang yang bersifat kritis terhadap keadaan di Indonesia, namun itu pun masih belum sekritis mahasiswa-mahasiswa di Bandung sekitar tahun 1978.

Di Jerman, yang paling aktif adalah PPI Berlin. Berlin memang kota istimewa bagi Jerman sekalipun, karena kota itu relatif dimanja oleh Jerman, sehingga tradisi intelektualnya lebih menonjol dibandingkan dengan kota-kota lain di Jerman Barat. Kegiatan mereka pun hanya mendengarkan ceramah-ceramah dari Adnan Buyung Nasution, WS Rendra atau tokoh-tokoh Indonesia lainnya. Mereka bertepuk tangan ramai-ramai, kalau tokoh itu mengkritik salah satu kebijakan pemerintah. Selanjutnya mereka berdiskusi di antara sesamanya. Yang mengingat lebih banyak ucapan-ucapan penceramah, sudah merasa paling hebat. Tetapi sesudah itu, keadaan sepi lagi, mereka kembali belajar.

Bermacam-macam kubu

Dari percakapan dengan beberapa anggota PPI itu saya berkeyakinan bahwa isyu pengaruh PKI kepada PPI tidak benar, walaupun masih ada kemungkinan satu-dua orang mahasiswa yang tertarik belajar komunisme secara autodidak karena buku tentang komunisme mudah diperoleh di Belanda maupun di negara Eropa Barat lainnya.

Langkah selanjutnya adalah menelusuri jaringan komunisme di Eropa. Hal ini juga tidak mudah, karena saya baru pertama kali ke Eropa, namun ada satu kunci, yaitu Adnan Buyung Nasution yang kini (1987) berada di Utrech. Buyung saya sebut sebagai salah satu kunci, karena ia sedang marah-marah terhadap salah satu berita di koran Indonesia yang menyatakan ia melakukan demonstrasi bersama Carmel Budiardjo dan Suparna menentang IGGI.

Buyung adalah orang yang tidak senang PKI dan komunisme hampir secara apriori. Dari Buyung tak dapat saya peroleh keterangan tentang orang-orang PKI di luar negeri, ia hanya tahu bahwa PKI di luar negeri telah terpecah-pecah, dan tiap pecahannya saling bermusuhan satu dengan lainnya. Ia menuturkan bahwa PKI di luar negeri itu ada Blok Moskow di bawah pimpinan Thomas Sinuraja, ada Blok Cina yang terpecah dua yaitu Suparna dan Wijardi. Ada Blok Albania (Buyung tidak tahu siapa tokohnya). Ada kelompok Tapol yaitu Carmel Budiardjo, Lim Soei Liong. Ada kelompok Wartheim, ada kelompok komite Indonesia dan Perhimpunan Indonesia yang di dalamnya ada Prof. Utrecht.

Buyung menyarankan, kalau saya mau tahu lebih banyak tentang jaringan PKI, ia menyarankan agar saya bertemu dengan Jusfiq Hadjar, seorang Marxis Perancis yang bermukim di negeri Belanda. Jusfiq menuturkan bahwa yang dimaksudkan dengan blok-blok PKI di luar negeri itu sudah hancur. Blok Albania tidak ada orangnya. Tiap kelompok hanya satu orang anggotanya, yang merangkap menjadi ketua, sekretaris, bendahara dan anggota sekaligus. Dan dari Jusfiq Hadjar, saya memperoleh alamat Basuki Resobowo di Amsterdam. Menurut Jusfiq, Basuki yang anggota Lekra/PKI bisa menuturkan lebih banyak.

Sutjipto - Djaelani

Basuki Resobowo merupakan satu-satunya orang PKI yang paling mudah ditemui. Ia tetap menjadi warga negara Indonesia, dan passportnya adalah pelarian politik. Untuk hidupnya, Basuki mendapat tunjangan dari pemerintahh Jerman Barat.

Menurut Basuki, selain Thomas Sinuraja di kubu Moskow, ada beberapa anggota Polit Biro PKI yang di luar negeri. Di antaranya adalah Jusuf Adjitorop yang masih tinggal di Cina. Di Belanda, ada dua orang, yaitu Soetjipto dan Djaelani. Selain anggota polit biro itu, ada tokoh penghubung yaitu Ibrahim Isa.

Ketika saya tanya kepada Basuki, apakah saya bisa bertemu dengan tokoh-tokoh PKI itu, ia termenung lama, dan berkata, “Untuk bertemu Djawoto (eks Ketua LKBN Antara) saja, harus menunggu lampu hijau tiga lapis. Saya pun tak bisa bertemu dengan mereka,” katanya.

Ia mengungkapkan, walaupun sudah berada di luar negeri, PKI tetap menjaga hirarki yang sangat berlapis-lapis. Pada lapisan terbawah, kader PKI saling tidak kenal, untuk tetap menjaga kerahasiaan. Kadangkala satu orang kenal bahwa orang lain itu kader PKI, tetapi tidak saling tahu ia kader dari mana.

Mati yang berarti

Basuki bertempat tinggal di Oesterpark Amsterdam. Ia mengontrak kamar 3x4 meter. Kamarnya pengap, bau cat. Di mana-mana ada lukisannya, yang semuanya beraliran realisme sosialis. Di salah satu dinding ruang kamarnya tertulis, “Lebih baik mati yang berarti, dari pada hidup enak dan nyaman (comfort).”

Ketika kepadanya saya tanyakan, apa makna mati yang berarti, maka ia mencoba berkelit bahwa tulisan itu sesungguhnya ditujukan kepada orang-orang PKI yang hidup dalam pelarian. Mereka kini menjadi orang-orang yang kaya di luar negeri, dengan rumah mewah, mobil, televisi, video, dan kamera.

Basuki menunjukkan sebuah karikatur yang menyebut PKI adalah Perkumpulan Kematian Indonesia. Orang-orang PKI hanya berkumpul kalau ada salah seorang di antara mereka meninggal. Pada kesempatan itu mereka saling pamer kekayaannya. “Jadi, mereka hidup di welfare state dengan comfort dan melupakan perjuangannya tentang Indonesia,” kata Basuki.

Lalu, ketika saya tanya sekali lagi tentang makna mati yang berarti, Basuki terdiam. “Untuk sesuatu yang berarti anda bersedia mati. Bisakan anda jelaskan tentang sesuatu yang berarti itu?” tanya saya kepadanya. Ia diam cukup lama, “Yang berarti bagiku sekarang ini adalah demokrasi liberal,” katanya. Saya kaget, karena ia tidak berkata tentang komunisme.

Tampaknya ia mengerti atas kekagetan saya. “Tak mungkin memimpikan komunisme di Indonesia saat ini, dan yang akan datang. Komunisme adalah cita-cita lama yang patut dikubur. Komunisme sudah tidak punya jaringan yang berarti di luar negeri. Mereka saling bermusuhan. Apalagi di tanah air. Bagaimana sikap orang Indonesia terhadap PKI dan komunisme?” kata Basuki.

Segera saya jawab, kami yang muda-muda tidak terlalu kenal terhadap PKI dan komunisme, kami hanya diajarkan di sekolah dan diingatkan oleh orangtua-orangtua kami bahwa PKI dan komunisme itu najis dan sangat berbahaya. Wajah Basuki memerah dan kemudian menunduk. Ia rupanya tersinggung ketika saya mengucapkan kata najis. Karena saya sudah kepalang basah, maka saya katakan lagi, “Kalau PKI tahun 1965 menang, mungkin kepala ayahku juga dipotong PKI, dan korban pembantaian PKI tidak akan kalah banyaknya dengan pembantaian rezim Pol Pot terhadap rakyat Kampuchea.”

“Ya, itulah,” desah Basuki yang kini (tahun 1987) sudah berusia 73 tahun. “Komunisme tak mungkin dibangkitkan lagi. Oleh karena itu saya mau mati untuk demokrasi. Melalui demokrasi, ide-ide kerakyatan akan bisa tumbuh subur. Namun karena saya berpendapat seperti ini, orang-orang PKI menjauhi saya. Saya dianggap murtad. Tapi ini perjuangan yang lebih nyata, dibandingkan dengan orang-orang PKI pelarian yang masih bermimpi kembalinya komunisme di Indonesia. Pada saat mereka bermimpi, mereka tak berbuat apa-apa. Mereka hidup enak di negara Barat ini,” tambahnya. Ia merasa sakit hati karena oleh kade-kader PKI di luar negeri, ia dianggap hanya tukang cat.

Sebelum meninggalkan Amsterdam, saya sempat membaca autobiografi Basuki Resobowo yang cukup mengagetkan, bahwa anggota-anggota PKI yang berada di Beijing selama 7 tahun itu, berada dalam tahanan. Tahun 1972, banyak di antara mereka yang memperoleh izin pergi ke Eropa, dan kemudian, sekitar tahun 1979 mereka diusir oleh pemerintah Cina.

Mudah dipatahkan

Mendengar keterangan Basuki Resobowo, saya teringat pada wawancara saya dengan Sarwo Edhie Wibowo, mantan Komandan RPKAD yang secara cepat membasmi G30S/PKI. Dalam wawancara itu saya tanyakan, mengapa TNI-AD dengan RPKAD sebagai ujung tombaknya dengan cepat melumpuhkan G30S/PKI, padahal PKI adalah partai yang besar, dengan organisasi yang rapi dan kader-kader militan.

Secara garis besar Sarwo Edhie Wibowo menjelaskan bahwa walaupun PKI itu besar, organisasinya rapi dan kader-kadernya militan, namun PKI mempunyai kelemahan, yaitu hirarki PKI terlalu panjang, dan karena dalam PKI ada saling rahasia yang rapi, maka kader satu dengan lainnya tidak kenal. Dalam posisi seperti itu, kata Sarwo Edhie, jalur informasi dari atas ke bawah mudah dipotong, sehingga kader-kader di bawah tidak sempat berkonsolidasi dan bergerak bersama. Dalam posisi demikian, kebesaran PKI menjadi tidak berarti, dan mudah dipatahkan.

Walaupun demikian, komunisme dan PKI tetap dianggap sebagai bahaya latent. Kalau kita waspada terhadap komunisme dan orang-orang PKI, itu sama sekali bukan karena kita ketakutan terhadap mereka dan pahamnya. Kita tidak takut, karena Pancasila sebagai ideologi kebangsaan Indonesia telah terbukti mampu mengalahkan komunisme di Indonesia. Demikian pula pendukung Pancasila mampu menghadapi orang-orang PKI di mana pun.

Kewaspadaan kita terhadap PKI dan komunisme adalah kewaspadaan yang wajar, bukan kewaspadaan orang yang paranoid, yang menganggap merpati sebagai rajawali.

Horn, 15 Juli 1987.

Baca 603 kali Terakhir diubah pada Senin, 12 September 2022 18:27
Bagikan: