Kemerdekaan pers bukan sekadar bagian dari hak asasi manusia tetapi bahkan menjadi fondasi bagi tegaknya hak-hak asasi manusia lainnya. Penindasan terhadap kemanusiaan akan mudah dilakukan jika tidak ada kemerdekaan pers. Pemerintahan yang bersifat fasis mudah melakukan penindasan kepada rakyatnya sendiri dengan cara mencengkeram kehidupan pers di negerinya. Contoh yang mencolok dilakukan oleh Goebbles, Menteri Penerangan Jerman rezim Hitler. Goebbles menyatakan kepada rakyat Jerman: Listen to nothing that we want you not to listen to See to nothing that we want you not to see Believe in nothing that we want you not to believe Think of nothing that we want you not to think of Sekarang mari kita bandingan dengan rezim Orde Baru di Indonesia. Walaupun Orde Baru menyatakan anti komunis tetapi menggunakan jurus Leninisme di dalam mengontrol media massa. Lenin pernah mengeluarkan fatwa “The press should be not only a collective propagandist and a collective agitator, but also a collective organizer of the masses”, dan fatwa Lenin itu mirip dengan pertimbangan utama diundangkannya UU Ketentuan-ketentuan Pokok Pers no 11/1966 yang berbunyi bahwa Pers merupakan alat revolusi, alat sosial-kontrol, alat pendidik, alat penyalur dan pembentuk pendapat umum serta alat penggerak massa. Dalam UU no 21/1982 yang mengubah UU no 11/1966 disebutkan bahwa istilah alat revolusi menjadi alat perjuangan nasional. Dengan cara berfikir fasis dan leninisme, rezim Orde Baru mengekang kehidupan media melalui Surat Izin Usaha Perusahaan Pers (SIUPP), dan dalam pelaksanaannya Pemerintah dibantu oleh Dewan Pers, seperti disebutkan oleh UU no 21/1982 bahwa Rumusan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 yang berbunyi "Pemerintah bersama-sama Dewan Pers" diubah menjadi “Pemerintah setelah mendengar pertimbangan Dewan Pers". Sebelum rezim Orde Baru membredel media, pemerintah mendengarkan pertimbangan Dewan Pers. Dengan demikian, Pertimbangan Dewan Pers yang menjadi pertimbangan utama pembredelan media yang dilakukan oleh pemerintah. Dari alat pembredel menjadi pelindung Setelah reformasi, banyak yang berubah, terutama dalam kemerdekaan pers. Media menjadi merdeka setelah muncul UU no 40/1999 tentang Pers. Waktu RUU Pers diusulkan pada awal 1999 ada beberapa RUU lain yaitu RUU Penyiaran dan RUU Media Massa. RUU Media Massa meliputi pers, penyiaran dan film ditolak karena menyatukan ketiganya dalam satu undang-undang itu bagaikan mengawinkan kambing dengan ayam. Sedangkan RUU Penyiaran tidak sempat dibahas, dan sebagai gantinya pengertian pers dalam UU Pers diperluas menjadi media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Dengan demikian, begitu UU Pers diundangkan, kemerdekaan pers untuk media penyiaran juga dijamin oleh UU Pers. Yang menarik untuk diamati adalah perubahan mencolok pada lembaga Dewan Pers. Pada waktu RUU Pers dirumuskan, aspirasi yang menonjol adalah agar Dewan Pers tidak menjadi lembaga yang menindas kemerdekaan pers tetapi menjadi lembaga pelindung kemerdekaan pers. Oleh karena itu dalam UU Pers dinyatakan bahwa dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen (Pasal 15 ayat (1)). Tidak ada aparat pemerintah yang duduk sebagai anggota Dewan Pers, padahal dahulu Ketua Dewan Pers selalu Menteri Penerangan. Perlindungan struktural yang telah dilakukan Dewan Pers adalah melakukan kesepahaman dengan Polri dan Kejaksaan Agung. Inti dari Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Polri adalah mengurangi kriminalisasi terhadap kegiatan jurnalistik. Kesepahaman itu antara lain, Polri apabila mengetahui dugaan telah terjadi tindak pidana akibat perselisihan/sengketa antara masyarakat dengan wartawan/media akan mengarahkan para pihak yang berselisih/bersengketa khususnya kepada pihak pengadu untuk melakukan langkah-langkah secara bertahap dan berjenjang mulai dari menggunakan hak jawab, hak koreksi, pengaduan ke Dewan Pers maupun proses perdata. Apabila langkah-langkah tersebut tidak mendapatkan solusi dan pihak pengadu ingin menempuh proses pidana, pihak pengadu diminta mengisi formulir pernyataan di atas kertas bermeterai yang berisi permintaan agar perselisihan/sengketa diproses secara hukum pidana. Sedangkan kesepahaman antara Dewan Pers dengan Kejaksaan Agung pada intinya bersepakat bahwa apabila ada dugaan terjadi pelanggaran hukum yang berkaitan dengan pemberitaan pers penyelesaiannya mendahulukan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebelum menerapkan peraturan perundangan-undangan lain. Kesepakatan-kesepakatan ini perlu dibuat karena UU Pers belum bisa dikategorikan sebagai lex specialis terhadap undang-undang yang lain. Dengan kesepakatan ini Dewan Pers telah mendirikan benteng perlindungan terhadap media, agar langkah-langkah penegakan kode etik jurnalistik didahulukan sebelum proses pengadilan berlangsung. Jika proses pengadilan berlangsung, dengan kesepakatan yang ada tersebut, maka didahulukan menggunakan UU Pers sebelum menerapkan peraturan perundangan yang lain. Namun, masih ada hutang Dewan Pers untuk menjadi pelindung kemerdekaan pers di Indonesia yaitu memasukkan pasal baru dalam Undang-Undang Dasar yang berbunyi, “Segala peraturan perundangan yang bertentangan dengan kemerdekaan pers dilarang.” Kualitas kemerdekaan pers Tujuan utama kemerdekaan pers adalah kemerdekaan warga negara untuk berkomunikasi, berekspresi, dan memperoleh informasi. Dalam hal ini Dewan Pers berikhtiar sekuat tenaga untuk meningkatkan kualitas kemerdekaan pers, yaitu agar masyarakat dapat memperoleh informasi yang benar dengan cara yang mudah. Untuk itulah Dewan Pers, sesuai dengan UU Pers, menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik. Dewan Pers berikhtiar meningkatkan kompetensi para wartawan/karyawan media, dan membuat pedoman agar para wartawan/karyawan media memperoleh upah yang layak, minimal sesuai dengan peraturan perundangan tentang ketenagakerjaan. Sekarang ini kemerdekaan pers di Indonesia ditandai dengan banjir informasi. Masyarakat mulai kesulitan untuk memilah dan memilih informasi yang benar. Bagaimana memilah informasi dengan disinformasi? Bagaimana memilah antara rentetan berita yang alamiah dengan rentetan berita yang dikendalikan oleh agenda setting? Untuk menghadapi banjir informasi inilah, Dewan Pers mendorong masyarakat untuk lebih memahami perkembangan media dan produk-produknya.**** (Muhammad Ridlo ‘Eisy, Pemimpin Redaksi inharmonia.co, anggota Dewan Pers 2010-2016. Artikel ini pernah disiarkan di Harian "Pikiran Rakyat" pada tahun 2013)***