Cekcok AS lawan Cina tentang Laut China Selatan Pilihan

Selasa, 10 Agustus 2021 09:44
(1 Pilih)

Pengantar

Diplomat Amerika Serikat (AS) dan China terlibat perang mulut atau cekcok terkait krisis Laut China Selatan dalam pertemuan tingkat tinggi Dewan Keamanan PBB secara virtual hari Senin waktu New York. Selanjutnya silahkan klik:

https://international.sindonews.com/read/506636/42/as-dan-china-cekcok-di-pbb-soal-laut-china-selatan-1628564920.

Cekcok ini mengingatkan pertengkaran antara AS dengan China waktu Presiden Trump berkuasa. Bersama ini kami lampirkan tulisan Muhammad Ridlo Eisy yang berjudul “Jangan Ada Perang AS Lawan China”. Tulisan ini pernah disiarkan harian Pikiran Rakyat, 1 Februari 2017.

Selamat membaca.

Redaksi

 

Jangan Ada Perang AS Lawan China

Oleh Muhammad Ridlo Eisy

Populisme menguat di seluruh dunia. Kemenangan Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat (AS) adalah tanda yang paling nyata. Paus Fransiskus tidak mau terburu-buru berkomentar tentang pidato pertama Presiden  Trump. “Menurut pendapat saya, contoh populisme paling nyata terjadi di Jerman tahun 1933. Rakyat yang tenggelam dalam krisis mencari identitas diri sampai seorang pemimpin karismatik datang dan menjanjikan mengembalikan identitas mereka,” kata Paus (Kompas, 23 Januari 2017).

Paus memang tidak menyebut nama Adolf Hitler, tetapi sejarah mencatat bahwa pada tahun 1933, Jerman dipimpin oleh Hitler. Peringatan Paus ini harus dipertimbangkan oleh masyarakat di seluruh dunia, termasuk oleh masyarakat Indonesia. Baik Hitler maupun Trump mempunyai aliran politik ultra kanan.

Dalam pidatonya, Trump bukan hanya patriotis, agak xenopobia (anti asing) dengan menyatakan menjaga perbatasan AS. Ada beberapa battle cry (teriakan perang) yang dikumandangkan Trump dalam pidatonya, yaitu America First, Buy American dan Hire American (Amerika yang utama, beli produk Amerika, gunakan tenaga kerja Amerika).  Trump akan membuat kebijakan ekonomi yang proteksionis. Dia yakin proteksionis akan membawa kemakmuran besar bagi AS.

Hantaman terhadap China

Kekuatan asing yang paling diperhatikan AS adalah China. Begitu hebatnya perhatian terhadap China, Rand Corporation mempublikasikan hasil risetnya setebal 116 halaman pada tahun 2016 dengan judul “War with China: Thinking through the unthinkable”. Tentara kita wajib membuat diskusi khusus mengenai buku ini. Rand Corporation adalah lembaga penelitian di Santa Monica, California, yang pendapatannya pada tahun 2014 mencapai US$313,2juta (Rp4,16 Triliun).

Ketegangan militer antara AS dan China memang ada, namun perang antara AS dan China yang sudah terjadi adalah perang mata uang, “currency war”, tampaknya AS tidak menang dalam perang itu. Yang jelas, China tidak mau didikte oleh AS. Sebentar lagi perang dagang antar AS dan China akan terjadi. AS akan menaikkan tarif bea masuk produk-produk dari China, agar produk lokal AS tidak kalah dari produk China, sehingga Buy American benar-benar terwujud.

Sudah bertahun-tahun AS selalu kalah dalam perang dagang melawan China. Pada tahun 2009, nilai ekspor AS ke China hanya  US$69,5 miliar, tetapi impornya  mencapai US$296,4 miliar, jadi neraca perdagangannya defisit sebesar US$226,9 miliar. Kekalahan AS bertambah parah pada tahun 2016, defisit neraca perdagangannya mencapai US319,3 miliar (sumber www.census.gov/foreign-trade). Rasanya tidak mungkin Trump mengalahkan China  tahun ini, namun hampir pasti defisit neraca perdagangan dengan China berkurang.

Dampak terhadap Indonesia

Jika kebijakan Trump akan membuat produk China kurang laku dijual di AS, kemana China akan menjual produknya? Salah satu negara yang akan diserbu oleh produk China adalah Indonesia. Bagi Indonesia, serangan produk China akibat kebijakan Trump lebih membahayakan dari pada kebijakan dagang AS yang akan dikenakan kepada Indonesia.

Bukan hanya AS yang kalah perang dagang melawan China, Indonesia juga. Bertahun-tahun Indonesia kalah perang dagang melawan China, dan makin lama kekalahannya makin parah. Pada tahun 2011 defisit neraca perdagangan dengan China hanya US$3,27 miliar dan pada tahun 2015 defisitnya mencapai US$14,36 miliar, kekalahannya meloncat empat kali lipat. Dapat dibayangkan, berapa besar defisit neraca perdagangan dengan China tahun ini, setelah produk-produk China yang ditolak di AS digiring ke Indonesia.

Kekalahan dagang dengan China sudah beberapa kali dikeluhkan Indonesia. "Kami mengusulkan dilakukan analisis agar terwujud hubungan bilateral perdagangan yang berimbang dengan Cina," ujar Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution dalam “The 2nd Meeting of High Level Economic Dialogue Indonesia-Cina” di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Senin, 9 Mei 2016. (Tempo, 9 Mei 2016). Di Guangxi, Kementerian Perdagangan Indonesia menginginkan keseimbangan perdagangan antara China dan Indonesia, setelah mengalami defisit dalam lima tahun terakhir (Bisnis Indonesia, 13 September 2016).

Dalam hal ini Indonesia bisa mengikuti gaya Trump, yaitu dengan melakukan proteksi, tetapi bisa juga melaksanakan kebijakan industrialisasi di Indonesia. Artinya, Indonesia tidak mengekspor bahan mentah lagi, tetapi mengekspor produk setengah jadi, atau produk yang sudah jadi. Kebijakan hilirisasi industri harus dilaksanakan.  Kebijakan ini harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, jangan sampai ada pengkhianatan di tengah jalan, yaitu mengizinkan menjual bahan mentah lagi, dengan alasan negara sedang perlu uang segera.

Jangan ada kejutan

Sekarang dunia sedang mengatur diri menghadapi perubahan kebijakan ekonomi AS. Untuk sementara waktu, Senin, tg 23 Januari 2017, dolar AS merosot ke level terendah dalam tujuh pekan terhadap mata uang utama dunia. Pasar saham di AS juga menurun. Nilai rupiah pun menguat terhadap dolar AS. Sedangkan indeks harga saham gabungan (IHSG) naik. Namun harus dicatat, reaksi ini masih reaksi sesaat, belum diketahui proyeksi perkembangan selanjutnya. Mungkin dolar AS akan terus merosot, sehingga produk-produk luar AS akan terasa mahal bagi masyarakat AS, sehingga kebijakan “Buy American” langsung efektif.

Bagi masyarakat Indonesia,  harga dolar AS naik atau turun tidak terlalu menjadi masalah, asal jangan ada kejutan. Harga dolar AS yang naik meroket atau turun terjun bebas, akan membuat kerugian yang sulit diperkirakan sebelumnya. Namun, kalau naik dan turunnya dolar AS, secara bertahap dan pelan-pelan, akan membuat masyarakat mampu menyesuaikan diri. Perlu dicatat, jika harga dolar AS terus turun, maka harga barang impor akan turun juga, sehingga menekan penjualan produk dalam negeri di Indonesia. Sedangkan para eksportir akan menerima pembayaran dolar AS yang nilainya makin merosot, padahal mungkin bahan bakunya diimpor waktu harga dolar AS sedang mahal.

Perang AS – China

Yang paling merisaukan adalah, bagaimana jika benar-benar terjadi perang militer antara AS dan China? Baik AS maupun China mempunyai senjata nuklir. Tampaknya, siapa bisa menembakkan nuklir ke negeri lawan, dia akan menang. Tidak terbayangkang berapa banyak korban yang akan mati jika militer AS dan China benar-benar berperang.

George Yeo, mantan Menteri Luar Negeri Singapuran dalam pidatonya menyatakan, “Jika ada salah perhitungan, jika ada serangkaian peningkatan konflik yang tidak terkontrol, yang mendorong konflik besar antara China dan AS, saya yakin kita semua akan sengsara. Kehancuran yang terjadi di kedua sisi Pasifik di luar imajinasi kita.” (http://www.todayonline.com/commentary/trump-xi-and-shape-us-china-relations-come-george-yeo).

Kita berdoa agar perang AS dan China tidak pernah terjadi. Kita berharap, dan sampai sekarang masih yakin, bahwa rakyat AS tidak akan tinggal diam. Kongres dan Senat AS semoga masih mampu mengimbangi kekuasaan eksekutif yang berada di tangan Trump. Kita mengharap AS tetap menjadi negara demokratis, bukan menjadi negara seperti Jerman pada tahun 1933, seperti yang disindir oleh Paus Fransiskus.***

Muhammad Ridlo Eisy - Anggota Dewan Redaksi Pikiran Rakyat, anggota Dewan Pers 2010-2016.

 

Baca 463 kali Terakhir diubah pada Selasa, 10 Agustus 2021 11:33
Bagikan: