Selat Muria, Perairan yang Tertutup Sedimen dari Gunung Vulkanik Menjadi Daratan

Jumat, 21 Januari 2022 20:22
(0 pemilihan)

Ahmad Rosyidi betanews.id, KUDUS - Dalam literasi sejarah morfologi, Pegunungan Muria dan Pegunungan Kendeng dulu dipisah perairan. Para pakar geologi Belanda, perairan itu disebut sebagai Selat Muria. Kini wilayah di bekas selat tersebut masuk di wilayah Kabupaten Kudus, Pati, Demak dan Jepara.

Hal tersebut diungkapkan oleh Agus Hendratno, Departemen Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, saat ditemui Tim Liputan Khusus (Lipsus) Beta News, beberapa waktu lalu.

 

Agus Hendratno, pakar geologi UGM. Foto: Kaerul Umam

Pegunungan Kendeng itu muncul lebih dulu, materialnya berupa kapur. Kemudian muncul Gunung Muria yang gunung vulkanik. Selat Muria itu berada di kedua gunung tersebut

Agus Hendratno, Pakar Geologi UGM

Dia menjelaskan, secara geologi, Selat Muria menjadi wadah sedimentasi dari pelapukan tanah di lereng selatan Gunung Muria dan bagian utara lereng Pegunungan Kendeng. Dalam hitungan tahun kuarter (satu juta tahun), sedimen yang terus menebal tersebut kemudian membentuk daratan.

“Pegunungan Kendeng itu muncul lebih dulu, materialnya berupa kapur. Kemudian muncul Gunung Muria yang gunung vulkanik. Selat Muria itu berada di kedua gunung tersebut. Nama selat Muria merupakan representasi dari Gunung Muria,” ujar Agus saat ditemui di Yogyakarta.

Sedimen yang terbentuk dari akumulasi aliran sungai kedua pegunungan tersebut, kata Agus, membentuk dataran lebih rendah, jika dibanding dengan wilayah yang lebih dekat dengan dua pegunungan tersebut. Maka tak mengherankan, wilayah lebih rendah tersebut kini menjadi langganan banjir.

 

Bendung Wilalung. Foto: Kaerul Umam

 

Menurutnya, sejak masa pemerintahan Hindia Belanda hingga saat ini, sudah banyak upaya yang dilakukan untuk mengatasi banjir di dataran rendah tersebut.

Beberapa daerah yang masuk dalam dataran rendah itu, mulai dari Sayung, Demak, Kudus hingga Pati. Pemerintah melalui Kementerian PUPR, Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali-Juana, melakukan normalisasi secara periodik.

“Pengurasan tersebut dilakukan pada seluruh saluran besar sepanjang Pantura, mulai Semarang, Demak, Kudus, Pati. Dikarenakan itu adalah akumulatif dari sedimen-sedimen yang masuk di situ. Itu menunjukan dataran rendah, dari Sayung Demak, Kudus, Juwana, Pati itu tingkat percepatan sedimentasinya tinggi,” bebernya.

Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, dibangun selokan di jalur Daendles, mulai Sayung hingga Karanganyar, Demak. Menurut Agus, selokan besar dengan lebar 10 meter itu digunakan untuk menampung sejumlah sedimen bersama air.

“Sebelum masuk ke sana, seluruh sedimen ditampung oleh saluran itu. Seandainya dulu Belanda tidak membangun saluran sejajar dengan Jalan Daendles, bayangkan itu pasti percepatan pertumbuhan sedimen itu semakin tinggi, pasti Demak dan Kudus banjirnya akan lebih sering,” jelasnya.

Pembangunan selokan itu, kata Agus, merupakan upaya Belanda dalam mengatasi banjir di wilayah tersebut. Dan pemerintah saat ini melanjutkan untuk melakukan normalisasi. Selain itu, Pemerintah Hindia Belanda juga membuat bendungan, misalnya Bendung Wilalung di Desa Kalirejo, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus.

“Pemerintah Indonesia juga membuat bendungan untuk menampung air dari Pegunungan Muria, ada Bendung Logung, kedepan akan ada Bendung Mranggen. Bendung-bendung itu berfungsi untuk mengurangi sedimen di wilayah dataran rendah,” tuturnya.

Agus menambahkan, upaya selanjutnya yang bisa dilakukan maysrakat di era modern adalah, mengembalikan daerah hulu agar mampu menghasilkan besarnya infiltrasi hujan yang jatuh ke tanah sebagai fungsi resapan. Caranya, yakni ikut serta melakukan penghijauan di wilayah hulu.

“Misalnya, bagaimana caranya agar dipercepat penanaman pohon di wilayah Patiayam dan Muria. Sehingga sungai-sungai yang berhulu di Muria itu tidak serta-merta mengalirkan air, tetapi air mampu dipanen untuk dimasukan kebumi menjadi air tanah,” terang pria kelahiran Kudus itu.

Sama halnya juga wilayah Pegunungan Kendeng, Agus menilai perlu ada peluang-peluang konservasi untuk memasukan air hujan yang jatuh untuk masuk ke resapan Gunung Kendeng yang banyak mengandung kapur. Dengan demikian, air hujan mampu dipanen untuk memberikan kotribusi pengairan, sekaligus akan mengurangi banjir di wilayah dataran rendah.

“Memang kedepan harus berani melakukan restorasi pemulihan tanaman tegakan di wilayah hulu. Kemudian di wilayah hilir membangun infrastruktur yang ramah lingkungan. Kemudian memperdalam jaringan-jaringan drainase alam maupun drainase buatan sehingga akumulasi jumlah hujan yang jatuh mampu ditampung,” paparnya.

Dia menambahkan, upaya tersebut dapat mengurangi intensitas jumlah air yang bisa menggenang. Karena sejarah geologi daerah itu dibentuk oleh banjir dan rawa yang menggenang cukup lama.

Tim Lipsus 12: Rabu Sipan (Reporter/Host), Ahmad Rosyidi, Kaerul Umam (Reporter/Videografer), Suwoko (Editor), Andi Sugiarto (Video Editor), Manarul Hidyat (Videografis), Lisa Maina Wulandari (Translator), Ludfi Karmila (Transkriptor) Dian Ari Wakhidi (Perlengkapan)

 

Sumber: https://betanews.id/2021/12/selat-muria-perairan-yang-tertutup-sedimen-dari-gunung-fulkanik-menjadi-daratan-3-5.html

 

Baca 691 kali Terakhir diubah pada Jumat, 21 Januari 2022 20:36
Bagikan: